Rabu, 04 Februari 2009

Jurang Perdamaian

Jurang Perdamaian

Peperangan memang mesti ada. Peperangan untuk memusnahkan. Sifat dunia dan isinya adalah kemusnahan. Yang dulu ada, sekarang sudah tidak ada. Yang dulu berseri, sekarang layu. Yang dulu hidup, sekarang mati.
Peperangan akan dimulai. Tinggal menunggu hari. Peperangan terbesar antara suku Manik dengan suku Andalo. Kedua suku ini telah lama bunuh-membunuh. Seakan mereka terlahir untuk saling menghancurkan. Seakan mereka telah dikutuk oleh roh nenek moyang. Kutukan yang tak hilang-hilang. Mungkin hingga mereka sendiri yang hilang dari muka bumi ini.
“Siaga…!” Komandan pasukan suku Manik menyiapkan pasukannya. Mereka sedang latihan perang-perangan. Suku Manik telah menanggung kekalahan dalam dua peperangan terakhir. Mereka terpaksa melarikan diri ke tempat yang lebih jauh. Semua harta benda, hewan ternak, bahkan sebagian perempuan dan anak-anak mereka ditawan suku Andalo. Peperangan kali ini adalah pembalasan. Mereka harus menang. Apa pun yang terjadi.
Komandan pasukan Manik adalah seorang pemuda belia bernama Sanggu. Badannya tegap perkasa, tangkas, dan mempunyai ilmu beladiri yang mumpuni. Kemudaan usianya akan menipu orang yang tak berpengalaman. Apa yang ada pada dirinya jauh lebih tua dari usianya. Ia mempunyai pengalaman segudang tentang peperangan. Ia telah menyaksikan peperangan sejak ia membuka matanya ketika keluar dari perut ibunya. Ia telah mengikuti peperangan sejak berusia dua belas tahun. Tubuhnya yang perkasa adalah binaan pengalaman nyata: pertarungan antara hidup dan mati.
Sanggu orang terbaik yang dimiliki suku Manik saat ini. Kecerdasan dan ketajaman pikirannya jelas tergambar dari sorot cahaya matanya. Tak ada anggota pasukannya, tua atau muda, yang berani menantang sorot matanya. Sanggu benar-benar menguasai pasukannya luar dalam.
”Saudara-saudaraku, ini saatnya. Kita harus membalas kekalahan kita. Rebut kembali anak dan istri kita. Kalian semua adalah laki-laki perkasa. Kita tidak akan kembali kalau kalah. Menang atau mati! Itu pilihan kita. Biarlah kita musnah daripada kalah untuk ketiga kalinya!”
Sanggu berpidato dengan berapi-api. Pasukannya menanggapinya dengan gegap gempita. Suara mereka membahana memenuhi lembah di kaki Gunung Manjika.
”Habuo…!” teriak Sanggu.
”Habuo…!” balas pasukannya serentak.
Mereka sedang meneriakkan kata-kata sakti warisan nenek moyang mereka. Mereka sedang mengasah semangat. Dada mereka menggelegak. Habuo yel-yel mereka. Habuo sebenarnya sebuah legenda. Habuo adalah nama ketua suku mereka seratus tahun yang lalu, yang membukukan sepuluh kali kemenangan suku Manik terhadap suku Andalo. Sepuluh kemenangan yang sambung- menyambung. Mereka memuja Habuo. Mereka selalu mengulang-ulang kisah peperangan Habuo kepada anak-cucu mereka. Mereka merindukan munculnya Habuo baru. Adakah ia Sanggu?
Tiba-tiba semua diam. Seorang berperawakan tinggi besar datang mendekat ke arah mereka. Ia Bulele, sang kepala suku. Wajahnya keras, otot-ototnya kekar, umurnya sekitar empat puluhan.
Sanggu menghampiri Bulele.
”Bagaimana anakku. Pasukanmu siap untuk bertempur?” tanya Bulele kepada Sanggu.
”Siap, Ondo!” jawab Sanggu. Ondo panggilan kehormatan bagi kepala suku.
Bulele berjalan diiringi Sanggu. Tampak raut kepuasan di wajahnya menyaksikan pasukannya. Wibawa Bulele di depan warga sukunya tidak diragukan lagi. Warga sukunya akan berlomba melaksanakan segala perintah dan larangan Bulele. Hitam katanya, hitam kata mereka. Putih, putih pula kata mereka. Hobi Bulele adalah menaklukkan harimau dengan tangannya sendiri. Dalam setiap pertarungan dengan harimau, Bulele belum terkalahkan. Sudah tak terhitung harimau yang jadi korban belati pendeknya yang bernama Simaot.
Di kalangan suku Manik, menaklukkan harimau satu lawan satu adalah ujian pertama bagi calon panglima perang dan calon kepala suku. Seterusnya menjadi hobi wajib bagi mereka. Pertarungan mereka disaksikan langsung oleh semua anggota suku. Pertarungan dilaksanakan dalam sebuah kerangkeng kayu yang besar. Waktunya tepat tengah hari.
Sanggu, si Panglima, pernah menaklukkan dua ekor harimau sekaligus. Kemampuannya menimbulkan decak kagum semua orang. Bulele tak salah pilih.
“Habuo…!” teriak Bulele.
“Habuoo…!” teriak pasukannya.

*
Gadis manis itu merobohkan sepuluh orang laki-laki itu dengan waktu singkat. Para laki-laki itu tumbang terbanting ke berbagai arah. Ia lalu melangkah menuju seoarang laki-laki yang menyaksikan tak beberapa jauh. Tak ada ekspresi di wajah lelaki itu. Tapi sorot matanya jelas berseri-seri menandakan kesenangan.
”Hormat, Handa!” si gadis membungkukkan badannya.
”Satu ujian lagi, Nak,” kata si lelaki.
Si Lelaki adalah Bangkuro, kepala suku Andalo. Umurnya sudah lima puluhan. Badan tegap kuat. Suku Andalo memenangkan dua kali pertempuran berturut-turut di bawah komondonya. Bangkuro diberi julukan Raja Beruang, karena berkali-kali ia pernah berkelahi dengan beruang coklat yang ganas dan kuat. Ia selalu keluar sebagai pemenang, walaupun pernah suatu kali beruang hampir mengoyak-ngoyak tubuhnya. Bekas cakaran beruang memenuhi seluruh tubuhnya. Di leher Bangkuro melingkar kalung gigi saing beruang.
Bangkuro lelaki yang tampan. Jejak ketampanannya tampak jelas menutupi garis-garis ketuaannya. Ia sangat disayangi rakyatnya. Di balik kekerasan watak dan pembawaannya tersimpan hati yang sangat penyayang. Hutan di mana mereka bermukim sangat dijaga oleh Bangkuro dengan berbagai peraturan. Tidak ada yang boleh dirusak dan diganggu jika tidak dibutuhkan. Hewan buruan ditangkap sekedar untuk dimakan, bukan untuk kesenangan. Ia pun menggalakkan bercocok tanam kepada rakyatnya. Bukan hanya menggantungkan hidup kepada alam seperti yang selama ini mereka lakukan.
Bangkuro sendiri memberikan contoh terbaik. Ia mengolah tanah dengan tangannya. Ia bekerja keras memakmurkan lahannya. Hasilnya, ladangnya menghasilkan buah dan sayuran melimpah. Ia membagikan kepada siapa saja rakyatnya, baik yang meminta atau tidak. Contoh teladannya ini diikuti rakyatnya. Bangkuro juga mengembangkan cara mengawetkan makanan sehingga bisa digunakan pada masa musim paceklik atau kemarau, atau masa peperangan. Inilah salah satu dari kunci keberhasilan Bangkuro dalam dua peperangan sebelum ini. Tentaranya mendapatkan pasokan makanan yang cukup dan bergizi. Stamina mereka sangat siap untuk berperang.
Satu lagi perombakan yang dilakukan Bangkuro adalah segera menikahkan para pemuda dan pemudi yang telah cukup umur. Ia telah membuat sistem yang ditempati para tetua yang bijak yang memastikan tiap pemuda atau pemudi segera menemukan pasangannya. Semua hal berkenaan dengan pelaksanaan pernikahan dipermudah dan ditanggung semua rakyat dengan bergotong-royong. Yang seringkali terjadi adalah nikah massal. Pasangan muda yang siap nikah terkumpul dalam jumlah tertentu dan dinikahkan bersama-sama, dan acara pesta bersama. Pesta biasanya sangat meriah. Acara dibantu sepenuhnya semua anggota suku. Tak ada yang tidak berpartisipasi. Mereka membantu dengan tenaga dan bahan makanan. Kecil-besar, tua-muda, laki-perempuan turun tangan. Sungguh kompak dan meriah.
Dengan cara ini Bangkuro dengan cepat memiliki tentara-tentara baru yang banyak dan kuat. Andalo mendulang kejayaanya dalam masa Bangkuro.
Gadis manis yang memanggilnya Handa adalah putri semata wayangnya. Handa adalah panggilan kehormatan kepala suku Andalo. Keluarganya juga harus memanggilnya handa, terutama jika di luar rumah (kemah). Gadis itu bernama Mutiara. Kecantikannya perpaduan ketampanan ayahnya dan kecantikan ibunya. Semua pemuda suku Andalo pasti mau melakukan apa saja asal bisa mempersunting Mutiara. Kecantikannya sungguh alami, menyatu dengan alam yang selama ini membesarkan dan mengasuh suku Andalo.
Mutiara bukan gadis sembarangan. Ia calon panglima perang pasukan Andalo. Ia sanggup mengalahkan semua pesaingnya yang semuanya pria dalam pemilihan panglima perang. Ia sungguh tangkas dan tangguh. Ia dipilih karena kemampuannya, bukan karena ia anak kepala suku. Bangkuro sungguh bangga walaupun itu tak tampak dari lahirnya. Ia menyimpan rapat dalam hati. Ia harus mennjaga perasaan semua rakyatnya, sekecil apa pun. Ia sangat sadar, tak akan ada kemenangan tanpa kesatuan. Tak akan menang bangsa yang dipimpin oleh orang yang tidak mereka cintai. Cinta itu tumbuh secara alami. Ia tidak dipaksa. Ia datang sendirinya ke dalam hati. Cinta kepada pemimpin lahir karena keikhlasan dan pengorbanan sang pemimpin terhadap rakyatnya.
Hari ini Mutiara baru saja menyelesaikan ujian. Ia harus mengalahkan sepuluh jawara tangguh berpengalaman dari pasukannya. Mutiara menyelesaikan ujian dengan sangat baik. Esok ia akan menghadapi ujian akhir. Ia akan diadu dengan seekor beruang coklat. Kekuatan seekor beruang coklat melebihi kekuatan sepuluh orang laki-laki dewasa kuat perkasa. Kelebihan lainnya, beruang sangat tahan dengan pukulan, dan cakarannya dapat menumbangkan sebatang pohon besar sekali pukul.
Mutiara tak boleh gagal. Gagal berarti ia tidak pantas menjadi panglima perang pasukan Andalo.
*
Hari ditunggu tiba. Seekor beruang coklat yang ganas telah berada dalam kerangkeng kayu kuat. Mutiara bersiap masuk ke dalam kerangkeng. Bangkuro telah mengangguk memberi persetujuan. Hari ini hari bersejarah bagi tiap orang di suku Andalo. Bagi Bangkuro, kekalahan berarti ia akan kehilangan anak semata wayang yang ia sayangi dengan cara sangat mengenaskan. Bagi warga suku Andalo, inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka, mereka akan memiliki seorang panglima perang perempuan. Bagi Mutiara sendiri, ia harus menang untuk kebahahagiaan semua orang yang dicintainya.
Beruang menunggu gelisah. Ia tak sabar lagi menunggu cewek cantik yang akan dipermainkannya. Mutiara masuk. Begitu kerangkeng ditutup, beruang langsung melompat ganas. Sekali lompat ia sudah melayang akan mencabik-cabik tubuh Mutiara. Mutiara harus melakukan sesuatu atau benak kepalanya akan jadi menu siang favorit si beruang.
Mutiara hanya melangkah selangkah ke kanan, lalu memiringkan badannya sejajar dengan posisi jatuhnya beruang. Beruang jatuh pas tepat di depan Mutiara. Begitu beruang menjejakkan kakinya di tanah, dengan cepat Mutiara melompat tinggi menancapkan belati Bomi pemberian ayahnya ke kepala bagian atas beruang. Belati menembus tengkorak dan mencabik otak si beruang.
Mutiara mundur ke sudut kerangkeng. Ia menunggu reaksi si beruang. Beruang menjadi gila. Ia menghantam ke sana ke mari tanpa arah. Syaraf kesadarannya putus. Ia mati menggelepar.
Semudah itu?! Orang tak percaya. Mereka melongo. Semudah itu?! Tak terbayangkan. Para panglima tangguh sebelumnya mengalahkan beruang dengan taruhan nyawa mereka sendiri. Butuh waktu, tenaga, dan banjir darah. Tapi, Mutiara menyelesaikannya dengan sekali pukulan saja. Luar biasa.
Mutiara mewarisi kebuasan kaumnya. Mereka mencari kesenangan dalam hal tak biasa. Kesenangan mereka, mereka anggap lebih penting daripada hak hidup si beruang. Tak ada yang mengajari Mutiara tentang hal ini. Kebanggaan dan angan-angannya telah menutupi mata hatinya betapa beruang itu kesakitan dan menderita untuk sesuatu yang tiada berguna. Beruang itu tidak lebih buas dari si Mutiara yang cantik berkilau.
*

Hari ini Gunung Manjika jadi saksi. Dua pasukan telah siap untuk saling memusnahkan. Dada mereka dipenuhi api berkobar-kobar. Pepohonan dan rerumputan jadi penonton terpaksa. Pohon dan rumput tak punya pilihan lain. Andai mereka bisa mengelak dari menyaksikan peristiwa hari ini, tentu mereka akan mengelak sejauh-jauhnya.
Aba-aba peperangan, terompet malaikat maut telah ditiup. Ribuan manusia berpacu dengan pedang terhunus. Mereka berlomba mengejar kematian. Peperangan, di mana pun ia, hanya berbuah kepahitan dan kemusnahan. Tak bisakah peperangan itu tak pernah ada. Peperangan wujud dari potensi manusia itu sendiri. Manusia tak menghendakinya, namun ia terus menggelegak untuk menampakkan eksistensi dirinya.
Lembah Gunung Manjika dipenuhi manusia tak bernyawa. Sia-sia, itu yang tepat untuk mereka. Untuk apa mereka mati? Untuk kebenaran, keadilan, atau kesejahteraan? Tidak! Mereka mati untuk sekedar gengsi, harga diri yang dibuat-buat.
Peperangan berkobar dengan hebat. Kekuatan kedua suku tampak berimbang. Tapi, di suatu tempat, dua pasang mata menyaksikan pemandangan itu dengan kesedihan. Banjir darah membuat banjir air mata mereka. Telah lama bergolak di hati mereka keinginan untuk mempersatukan kedua suku, untuk menciptakan perdamaian. Alangkah indah perdamaian itu. Mereka hidup berdampingan, saling membantu, saling menghormati, dan bertukar apa saja untuk keebaikan bersama. Betapa indah mimpi mereka. Tapi itu mimpi. Hari ini kedua mata mereka yang nyala, tidak tidur, melihat kenyataan yang terbalik dari mimpi mereka.
Di sana ada ayah mereka, kakak mereka, sepupu, dan saudara mereka yang lain. Mereka sedang meregang nyawa atau membuat dosa teramat besar: pembunuhan tak beralasan.
Mereka adalah Bensa dan Yuri. Bensa pemuda warga suku Manik, Yuri pemudi suku Andalo. Kesamaan cita-cita telah mempertemukan mereka. Cinta telah terjalin antara mereka. Mereka juga telah berjanji baru akan menikah jika cita-cita mereka tercapai. Entah kapan.
Ide perdamaian telah lama terbetik di pikiran Bensa. Ia selalu memikirkan cara bagaimana perdamaian itu bisa terwujud. Ia merasa seorang diri. Ia pun bukan apa-apa di kalangan sukunya. Ia hanya seorang anggota suku biasa. Ia menyadari betapa berat tantangan yang akan ia hadapi. Ia berpikir mungkin saja ide perdamaian ini juga muncul pada salah seorang dari suku Andalo. Mungkin saja. Maka dengan gigih dan dengan penyelidikan yang hati-hati akhirnya ia tahu bahwa Yuri juga mempunyai ide yang sama. Mereka lalu menjalin komunikasi rahasia, sangat rahasia. Sangat berat risiko yang akan mereka hadapi jika sampai ketahuan oleh anggota suku masing-masing kalau mereka menjalin hubungan baik. Permusuhan antara Manik dan Andalo adalah beban sejarah, dendam kesumat, gengsi, dan kehormatan. Tak akan berhenti sebelum salah satu di antara mereka musnah. Demikian keyakinan yang bercokol di kepala manusia kedua suku.
Bensa memberi aba-aba. Serentak meraka berdua berlari cepat ke arena pertempuran. Pertempuran telah mereda. Korban bergelimpangan memenuhi lembah yang lapang itu. Apa yang dilakukan Bensa dan Yuri? Mereka memberikan pertolongan sebisanya kepada para korban yang masih hidup. Mereka menolong tanpa pandang suku. Semua yang masih bernafas mereka beri pertolongan sebisanya, dengan harapan bisa menyelamatkan nyawa mereka menjelang anggota suku mengambil korban dari pihak masing-masing.
Mereka bekerja keras. Para korban merasa heran dalam hati mereka. Tapi mereka terlalu payah untuk bisa berpikir. Yang jelas mereka senang ada orang yang memberikan bantuan dengan cepat dan tepat.
Bensa dan Yuri berpacu dengan waktu dan tenaga mereka sendiri. Mereka berusaha menuntaskan kerja ini dengan baik dan cepat. Apa yang mereka lakukan saat ini adalah langkah awal yang amat berani. Mereka berharap bisa menanam saham kebaikan kepada siapa saja di kedua suku. Ini akan membantu pencapaian harapan besar mereka. Mereka yakin.
*
”Yuri anakku, beri tahu kami alasanmu atas apa yang telah kamu lakukan dalam peperangan kemarin?” Bangkuro berkata lembut tapi tegas. Ditatapnya Yuri dengan tenang. Berita tentang apa yang dilakukan Yuri bersama seorang pemuda setelah peperangan telah sampai kepadanya. Ia heran dan penuh tanda tanya. Ia antara setuju dan tidak. Setuju kalau hal itu dilakukan hanya untuk anggota sukunya. Tapi, saat itu Yuri tidak hanya menolong orang suku Andalo. Musuh mereka suku Manik juga diperlakukan sama.
Ia tidak bisa kasar karena selain ia juga seorang yang lembut, yang dihadapinya adalah seorang gadis tanggung usia lima belas tahun. Lagi pula apa yang dilakukan Yuri sebenarnya baik.
”Handa yang mulia, para tetua suku yang terhormat, mengapa kita harus saling bunuh. Tak bisakah permusuhan dan pembunuhan ini dihentikan! Apa sebenarnya yang kita ingin dapatkan dari peperangan demi peperangan yang panjang ini? Apa?!”
Semua anggota sidang terdiam. Yuri terlalu berani. Tapi mereka lihat Bangkuro hanya diam. Mereka tak berani mendahului Bangkuro.
”Tak pernahkah terpikir oleh kita untuk hidup bersama secara damai? Hati saya menangis betapa melihat mayat bergelimpangan tanpa guna? Untuk apa kematian mereka?”
”Ayahku, saudaraku, ayah kita dan saudara kita mati. Berapa banyak lagi yang mesti binasa? Untuk apa? Jawab Bangkuro!?”
Para tetua suku dan anggota sidang tampak sangat marah dengan kelancangan Yuri. Siapa dia, begitu berani mengucapkan kata-kata tantangan yang kurang ajar. Mereka tak tahan, tapi kewibawaan Bangkuro menahan mereka.
Bangkuro terdiam di singgasananya. Ia pemimpin yang bijak. Semua mencintai dia karena kebijaksanaan dan sifat pengorbanannya yang amat menonjol. Bangkuro bukan manusia haus darah. Ia memang beda dari para ketua suku sebelumnya. Ia jauh lebih maju dari keprimitifan tempat ia hidup. Apa yang dikatakan Yuri benar. Ia sendiri telah lama memikirkan tentang hal tersebut. Perdamaian. Kata itu demikian mengganggunya sekian lama. Ia megangankan dan menginginkannya. Ia ingin menuju ke sana. Tapi, jalan belum tampak.
”Bangkuro bertanya tentang apa yang aku lakukan. Aku melakukan sesuatu yang menuju ke arah cita-citaku, yaitu aku ingin perdamaian. Aku mencita-citakan perdamaian akan terwujud antara kita dan mereka. Aku yakin apa yang aku lakukan akan berarti, sekecil apa pun itu. Itulah alasanku berbuat seperti yang kemarin.”
Yuri diam. Ia sudah pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu untuk menyampaikan apa yang selama ini memenuhi jiwanya. Orang Andalo tak takut mati. Bagi mereka kematian adalah hal biasa saja. Kalaupun nanti ia dihukum mati, Yuri telah siap. Ia bahkan bahagia. Ia mati demi cita-cita. Mati demi cita-cita adalah kematian terindah seorang manusia. Mati karena kesenangan nafsu adalah kematian para binatang.
Sidang hening. Dada anggota sidang bergemuruh. Sulit bagi mereka mencerna apa yang disampaikan Yuri. Berdamai dengan musuh mereka. Menghentikan dendam kesumat? Mana mungkin? Arwah para leluhur yang telah mati di peperangan akan menyumpahi mereka. Salah satu harus musnah, itu prinsip mereka.
Bangkuro terdiam di kursinya. Tampak wajahnya mengerut karena berpikir keras. Ia memahami apa yang disampaikan Yuri. Ia malah bangga dengan Yuri, seorang pemudi Andalo yang luhur dan pemberani. Hatinya jadi teriris karena ingat akan putri semata wayangnya, Mutiara, yang mati di medan perang kemarin.
”Pulanglah, anakku!” kata Bangkuro.
Yuri menghormat lalu pergi.
”Bicaralah, Paman Dato,” kata Bangkuro kepada Penasihatnya yang bijak bestari.
”Baik, Handa,” kata Dato.
Dato diam. Ia pun merasa berat akan apa yang akan ia sampaikan. Akankah menuruti suara hati nurani atau menuruti kemauan rakyatnya. Ia telah tua. Umurnya telah mencapai delapan puluh tahun. Telah banyak asam garam hidup ini yang telah dirasanya. Ia telah merenungi hidup ini sepanjang ia mulai berpikir. Apa, ke mana, dan untuk apa hidup manusia di muka bumi ini?
”Handa dan anggota sidang yang mulia, Yuri benar. Sudah tiba saatnya bagi kita untuk meninggalkan kebiadaban. Sudah tiba saatnya untuk kita maju sejajar dengan bangsa-bangsa yang beradab. Aku telah lama hidup dan banyak melihat kehidupan beragam manusia. Sudah sepanjang hidupku keinginan ini aku pendam. Aku telah dekat untuk mati. Aku ingin memberi wasiat bahwa perdamaian memang lebih baik. Aku lihat, masa ini adalah masa yang tepat.
Dengan berhentinya peperangan akan ada kesempatan bagi generasi Andalo untuk maju. Kita kirim para pemuda kita untuk belajar ke dunia luar. Sungguh, manusia di luar sana telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Tidak berapa lama, era baru suku Andalo akan datang. Tapi, kalau kita tetap berperang, hal ini jadi tidak mungkin. Semua potensi kita telah habis untuk berperang.”
Udara sidang makin panas. Mereka tak menyangka Dato akan berbicara seperti itu. Hampir saja sidang banjir darah. Pertengkaran antara segelintir orang yang mendukung Dato dan Yuri melawan mereka yang dominan menentang. Kewibawaan Bangkuro jua yang membuat mereka mampu menahan diri. Akhirnya sidang dihentikan, dilanjutkan beberapa hari lagi menunggu aba-aba dari ketua suku.
*
”Apa?! Penggal kepalanya sekarang juga. Kirim kepala itu ke Andalo dan pancangkan tubuhnya di tengah lapang!”
Bulele berteriak lantang. Matanya menyala-nyala api dendam.
Utusan Andalo itu dipancung tanpa salah dan tanpa ditanya apa maksudnya. Bulele telah melakukan kekejian dan melanggar pantangan. Tak boleh utusan dibunuh. Kebencian telah menjadikan ia gila.
”Kau lihat Bensa. Tidak akan pernah ada perdamaian. Sekarang kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau telah berkhianat. Bukannya ikut berperang, kau malah menolong orang Andalo yang telah membunuh orang tua dan saudaramu. Kau katakan demi omong kosong yang bernama perdamaian. Kau sebenarnya pengkhianat! Kau tahu hukuman untuk pengkhianat?!”
Suara Bulele memenuhi ruang pertemuan suku Manik. Kekalahan yang baru saja dideritanya kembali makin membuat ia gelap mata. Utusan suku Andalo yang sebenarnya membawa pesan perdamian dari Bangkuro langsung dibunuhnya dan kepalanya dikirim kepada Bangkuro seakan menantang perang. Bensa didudukkan sebagai pesakitan yang akan menunggu keputusannya karena ulahnya bersama seorang suku Andalo dalam peperangan yang lalu.
Semua sudah tahu apa hukuman yang akan diberikan kepada Bensa, hukuman untuk para pengkhianat. Hukuman yang amat berat.
Bensa tak berbicara sepatah kata pun. Kepalanya tegak. Ia tak menyesali kematiannya. Darahnya akan menyirami bibit-bibit baru. Matinya tak sama dengan mereka. Ia mati dalam kebenaran. Darah para pembela kebenaran akan melahirkan para pembela kebenaran yang lebih banyak. Kebenaran memang selalu minta korban. Pengorbanan akan selalu diminta kepada pembela kebenaran. Pembela kebenaran tak pernah takut mati. Kematian sesuatu yang telah ditentukan. Membela kebenaran bukan penyebab kematian. Mati itu datang karena ia memang sudah harus datang.
”Besok kau akan menerima hukumanmu!” Bulele menatap Bensa tajam. ”Ada yang hendak kau katakan? Bicaralah!”
”Aku bukan pengkhianat, Ondo. Aku mencintai bangsaku. Kecintaan kepada bangsakulah yang mendorongku untuk mencitakan perdamaian. Ondo boleh membunuhku seribu kali, tapi aku tidak akan pernah mati. Kebenaran takkan pernah mati.” Bensa berbicara dengan tenang dan jelas.
Hadirin terdiam.
*
Seorang datang membawa tali untuk mengikat tubuh Bensa, tapi Bensa menolaknya.
”Tak usah diikat. Dan mataku juga tak usah ditutup.”
Bensa berdiri di pinggir jurang yang teramat dalam. Tebing tempat ia berdiri adalah salah satu puncak tertinggi dari Gunung Manjika. Angin meniup rambutnya yang panjang. Semua warga suku Manik menyaksikan. Keluarga Bensa tak bisa berbuat apa-apa. Kesedihan merasup hingga tulang sum-sum mereka.
Bensa berhadapan dengan regu pemanah ulung. Ada empat pemanah. Jidat, leher, ulu hati, dan perutnya akan ditembus anak panah dalam jarak sepuluh meter.
Bensa berdiri gagah. Matanya dibukanya lebar-lebar. Regu pemanah itu ditatapnya. Tak tampak kesedihan dan rasa takut. Wajahnya tenang. Ia telah melihat para bidadari melambaikan tangan kepadanya. Para bidadari itu tersenyum. Mata mereka memancarkan api kerinduan.
Aba-aba terdengar. Empat anak panah melesat membelah angin. Bensa menarik nafas. Ia tersenyum. Para bidadari itu menyatakan cinta kepadanya. Bensa juga jatuh cinta. Panah-panah cinta menembus tubuhnya. Tubuhnya melayang. Ia merasakan keindahan luar biasa.
Andai mereka tahu.
Jurang itu juga tersenyum kepadanya. Senyum seorang ibu yang tulus. Sang ibu menanti ia dengan tangan terbuka, siap memeluknya. Ternyata kaumnya mengantarnya kepada lautan cinta tiada bertepi.
Andai mereka tahu.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar