Jumat, 06 Februari 2009

Anak dalam Pandangan Seorang Ayah

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Segala puji hanya milik Allah. Salawat dan salam untuk Rosulullaj saw.

Seorang ayah memandang anaknya sebagai wujud dari perjalanan panjang yang telah ia lalui. Inilah salah satu bentuk dari usahanya selama ini. Kalau ia selama ini adalah seorang pejuang di jalan kebaikan, maka ia akan lihat anak-anaknya adalah anak-anak yang juga bertabur kebaikan. Ia akan begitu harap pada keturunannya. Ia berharap mereka akan meneruskan usahanya untuk menebar kebaikan di mana pun, kapan pun. Ia sayang kepada anaknya. Allah telah anugerahkan kasih sayang itu kepadanya. Salah satu anugerah tertinggi Allah untuk orang-orang yang berbuat kebaikan adalah ditempatkan rasa kasih sayang di dalam hatinya. Rasa kasih sayang di hatinya inilah yang menjadikan ia disayang oleh orang lain sepanjang hidupnya. Rasa kasih sayang inilah yang membangun harapan besar di dalam dirinya bahwa ia akan memperoleh anak-anak yang soleh.

Anak dalam pandangan seorang ayah adalah kekayaan tiada ternilai. Apa pun bentuk kekayaan dunia ini tak mampu menandingi kekayaannya berupa seorang anak yang soleh. Hatinya akan hancur ketika ia dikasari anaknya ketimbang ia kehilangan seluruh harta bendanya. Harta dapat kembali dicari, tetapi anak yang telah jauh dari kesolehan, dengan apa akan diganti. Hatinya yang hancur oleh anaknya, entah dengan apa akan diobati.

Itulah makanya Allah memberi kehancuran kepada pelaku kejahatan dengan memulai kehancuran itu dari keluarganya, dari anak-anaknya. Ini azab teramat pedih.

Seorang ayah yang bersitungkin bekerja siang malam; seorang ayah yang menempuh beragam kesulitan dalam beramal yang tampaknya tak bernilai (dunia); harapannya adalah bahwa ia akan beroleh anak yang soleh. Bahwa Allah akan menghargai usaha jerih payahnya dengan memberinya anak-anak yang soleh.

Anak soleh penyejuk hati. Anak soleh dambaan para Nabi dan Rosul, dambaan para solihin.Semua ayah boleh mendambakan anak yang soleh. Semua ayah berhak berusaha untuk beroleh anak yang soleh.

Aku seorang ayah. Aku terus memotivasi, mengingatkan diriku bahwa sangat ingin anak-anakku semuanya menjadi anak-anak yang soleh. Semua. Agar doa mereka penyejuk bagi kuburku, penambah berat timbangan amal kebaikanku, melapangkan jalanku menuju surga yang dijanjukan Allah.

Aku memandang dengan takjub kebesaran Allah dalam diri anak-anakku. Terus muncul hal-hal baru menakjubkan dari mereka. Baik perkembangan mereka, sikap mereka.

Aku lihat diriku pada mereka. Lalu aku menangis. Ya Allah, janganlah kesalahanku di masa lalu membawa keburukan kepada anak-anakku. Jadikanlah kebaikanku di masa lalu jadi warisan mereka seumur hidup. Indahkanlah akhlak mereka, indahkanlah wajah dan tubuh mereka.

Ya Allah, kumpulkan kami kembali di surga.

Penat aku pulang kerja. Aku merindukan untuk memeluk anak-anakku. Lalu, hilang semua kepenatan dari jiwa. Mereka hiburan jiwaku. Aku tidak mau lagi dengan segala hiburan yang melalaikan, menambah dosa, atau sia-sia.

Tiap detikku adalah perjuangan untuk menjadi seorang ayah yang soleh. Seorang ayah yang pantas untuk ditiru. Seorang ayah yang bisa dibanggakan di hadapan Allah. Mereka merasa beruntung telah mendapat seorang ayah sepertiku.

Aku terus menyadarkan diriku akan hal ini. Di alam barzah, di sana, aku bisa mengharapkan kiriman doa mereka, kalau aku berhasil mendidik mereka menjadi anak-anak yang soleh.

Adakah aku marah. Tentu. Adakah aku jenuh. Tentu. Sampai saat ini persentasenya kecil. Aku mensyukurinya.

Hari ini aku sedang berjuang untuk pulang kampung. Secara logika, tidak pulang adalah keputusan yang lebih baik. Aku memutuskan pulang. Sesulit apa pun. Aku pulang untuk menunjukkan baktiku kepada Amak. Aku ingin menyenangkan hati beliau. Tentu beliau senang kalau beliau merasa aku sebagai anaknya ingat akan dirinya. Harapan akan menyenangkan hati beliau melebihi logika selogis apa pun. Melebihi apa pun. Melebihi kesenangan dari seorang bidadari.
Bidadari dunia secantik apa pun tentu akan kau temukan banyak kekurangan yang tidak menyenangkan hatimu. Sedang, keputusanku ini menyenagkanku tanpa kulihat ada kekurangannya. Kesulitan bukan kekurangan, malah menambah kepada kualitas kenikmatannya. InsyaAllah.

Aku ingin menjadi anak yang berbakti. Ini syarat mutlak untuk mendapat anak yang berbakti. Sabda Rosulullah, untuk mendapat anak soleh, jadikanlah dirimu seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuamu.

Aku begitu takut bahwa pertimbangan materi menjadi dominan dan menguasai perbuatan-perbuatanku. Ini memberatkan dan berakhir keburukan. Aku tidak melihat anak-anak orang kaya adalah anak-anak yang berbakti, kebanyakannya. Apa yang kurang. Anak-anak itu telah merasakan banyak kesenangan dari orang tuanya. Tapi, mereka tidak menjadi anak-anak yang santun dan berbakti.

Aku sekuat tenaga akan mencarikan kesejahteraan yang bersih-halal untuk anak-anakku. Yang ingin benar-benar aku wariskan adalah kekayaan jiwa.

Tiap detik dari usiaku adalah perjuangan menuju rido Allah. Apa yang di sisi Allah jauh lebih baik, bagi orang yang mengetahui.

Pernikahanku adalah sarana ibadah. Anak-anak adalah sarana ibadah. Kedua menjadi jalan untuk mengumpulkan kebaikan.

Aku seorang ayah. Telah dua orang anakku. Anak-anak yang lucu. Mereka mengobati penat, suntuk, dan sumber motivasiku.

Aku seorang ayah yang sedang berjuang menjadikan tiap detik waktunya bernilai dalam pandangan Allah. Aku yakin apa yang aku lakukan akan berpengaruh kepada anak-anakku. Kebaikan yang aku lakukan di mana pun, kapan pun, akan menanam benih kebaikan dalam diri anak-anakku. Benih itu akan besar dan berbuah yang manis.

Abu Syuhada, Seorang ayah di Duri, Riau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar