Anjing
”Anjing! Angkat tu! Bermenung saja kerjamu!”
Pendek, kecil, hitam. Umur sudah menjelang tua. Ketuaan umur makin mematangkan kebusukan lidahnya. Kata kasar dan carut tiap sebentar keluar dari mulutnya. Itulah bosku. Pemborong kami menyebutnya. Ia yang memimpin proyek renovasi rumah mewah, bertingkat, dan amat luas ini.
Aku bukan anjing. Aku tahu pasti. Tapi, aku mulai biasa dengan kata itu. Aku jadi sering memikirkan persamaan.
Mati anjing. Begitu orang kampungku mengumpat dan mengutuk orang yang dibencinya. Banyak anjing mati tergeletak di mana-mana. Orang tidak mau tahu. Malah jijik. Muntah.
Anjing dilahirkan untuk dikutuk.
Orang kampungku akan heran dengan anjing Tuan Besar yang rumahnya sedang aku renovasi. Anjing Tuan ini lebih gagah daripada semua orang kampungku. Bulunya berkilau, berjumbai indah. Badannya besar, tegap, tinggi perkasa. Makannya, seporsi makanan anjing ini setara dengan sebulan makan orang kampungku. Kalau orang kampungku kenal dengan anjing Tuan ini, mereka tidak akan pernah mengutuk anjing lagi. Mungkin.
Orang kampungku, termasuk keluargaku, turun-temurun jadi kuli. Itulah kepandaian kami. Kasar, panas, dan carut-marut dunia kami.
*
”Sudahlah, Di. Sekolah saja dulu. Biar Mak yang cari uang.”
Mak memandangku dengan mata penuh kasihan dan sayang. Aku lebih kasihan lagi pada Mak. Membesarkan lima orang anak sendirian bukan pekerjaan mudah. Aku ingin membantu meringankan beban Mak. Separuh hari sekolah, separuh hari berkuli. Kalau libur, sepanjang hari aku berkuli.
Aku ingin membahagiakan Mak. Itu citaku.
”Biarlah Adi belajar tentang pahitnya hidup, Mak. Mungkin berguna nanti.”
”Tapi Mak kasihan. Pulang kerja kamu terkapar keletihan. Lagian, nanti belajarmu terganggu.”
”Percayalah pada Adi, Mak. Adi tidak akan mengecewakan Mak. Insyaallah.”
Mak diam. Itu kalimat pamungkasku. Suara hatiku yang paling dalam. Mak selalu terdiam kalau mendengar kalimat itu.
*
Mimpi memelukku.
Dalam mimpiku.
Puluhan, ratusan anjing mengejarku. Aku terkepung. Tubuhku dikoyak-koyak. Sakit tiada terperi. Biji mataku yang belum ditelan anjing, melihat si Tuan Besar tersenyum sambil mengelus anjing-anjingnya.
*
”Saudara-saudara harus ikut mendukung program pemerintah untuk kemajuan bangsa kita. Mari kita berkorban demi jayanya negeri tercinta ini. Pengorbanan Saudara-saudara hanyalah dengan pindah dari tempat ini. Pihak penyelenggara proyek telah menyediakan tempat yang lebih baik dan ganti rugi yang sepadan. Kalau proyek ini telah rampung kelak, Saudara-saudara pun akan ikut menikmati hasilnya!”
Dada warga gemuruh. Mata mereka memancarkan api.
” Saudara-saudara! Ini peringatan kami untuk ketiga kalinya. Segera pergi dari tanah ini. Ini adalah peringatan terakhir dari kami. Jangan salahkan kami bila melakukannya dengan paksaan!”
Pria berjas berdasi itu bicara dengan lantang, gagah, dan jelas. Angin siang mempermainkan jas dan rambut lurusnya. Ia kelihatan makin gagah. Mirip lakon di film-film.
Kampung kami akan digusur. Pemerintah melakukannya untuk suatu proyek besar. Kami, para kuli, diminta berkorban demi kejayaan bangsa ini.
Orang-orang kampungku terpana. Mata mereka merah. Bara duka dan amarah. Mengapa harus kami yang dituntut berkorban. Mengapa tanah kami yang harus dikorbankan. Tidak cukupkah kesusahan dan kesempitan hidup turun-temurun yang kami alami sebagai pengorbanan?!
Tanah ini bertabur sejarah dan kenangan. Tanah leluhur. Banyak cerita yang harus kami pelihara di tanah ini.
Kami dijanjikan segala kemulukan. Uang ganti rugi yang besar dan lokasi yang strategis. Semua omong kosong. Proses ganti rugi amat rumit dan berbelit. Yang kami terima jauh dari gambaran. Tampang-tampang koruptor ulung memenuhi bagian ganti rugi. Lokasi baru jauh dari keramaian. Kami diberi hutan. Kami jadi orang hutan.
Semua orang kampungku menolak mentah-mentah. Tapi kekuatan kami hanya ada di hati dan keluar lewat air mata.
*
Mak Asih terus menangis. Idam, anaknya, hilang tak tentu rimba. Idam sang provokator. Ia lawan yang tangguh bagi penyelenggara proyek. Berani, dan didukung penuh masyarakat. Idam mengangkat masalah ini ke mana-mana. Karena usaha Idam, masalah kampung kami masuk koran dan televisi. Tak mengubah apa-apa memang. Tapi, kami mengahargai usahanya.
Tiba-tiba Idam hilang.
Idam temanku sesama kuli. Anak yang pintar, yang tumbang oleh belenggu nasib. Berhenti sekolah karena pilihan sendiri. Hidup ibu dan adik-adiknya bergantung di pundaknya.
*
Warga terpekik.
Adun tiba-tiba melompat ke roda traktor. Langsung roda traktor melumat tubuh kerempengnya. Adun jadi peyek. Berderak-derik tulang Adun. Mencipta irama unik dari dominannya suara mesin traktor.
Mak Adun melolong. Panjang. Lebih mirip terompet kematian daripada tangis. Keluarga Adun meradang. Laki-perempuan menerjang, menyerbu sopir traktor. Sopir jadi kambing, warna gagak.
Banjir darah.
Minyak terpantik api.
Polisi Pamong Praja menyerbu keluarga Adun yang sedang menghakimi sopir.
Mak Adun melolong lagi. Penuh benci, marah, dendam, dan panggilan. Menyayat, menggetarkan warga kampung.
Banjir darah.
Minyak terpantik api.
Dendam-amarah bersatu. Akal hilang terbang. Warga berlari, berpacu. Terbelintang patah, berbujur putus. Tak ajal berpantang mati. Biar berkubur bersama rumah, kenangan, dan pesan para leluhur di tanah pusaka.
Anggota polisi yang hanya beberapa orang salah tingkah. Mereka menembak ke langit berkali-kali. Pelurunya mengenai Malaikat Maut yang sedang sibuk. Belum masanya Malaikat Maut mencabut nyawanya sendiri.
Banjir darah.
Adun mati sebagai pahlawan, pelopor. Adun, si pemuda kurang waras, husnul khotimah. Ia menuai hasil dari kerjanya selama ini. Kerja Adun sepanjang hari memunguti sampah keliling kampung. Adun memunguti apa saja yang berserakan, membawanya ke pondok yang khusus dibuatkan untuknya. Semua menyenangi Adun. Kampung bersih oleh Adun.
*
Sepuluh tahun berlalu.
Nafasku terengah-engah. Rasa mau putus. Anjing sialan! Sepuluh ekor anjing mengejarku. Kalau cuma satu, aku tak akan lari. Aku bisa menggigit urat leher dan menarik lidah panjangnya keluar.
Aku mencoba memulung di sana, di kompleks perumahan Puri Nirwana, perumahan warga kelas atas. Elite. Lacur, baru saja mendekati gerbang, gerombolan anjing sialan itu langsung mengejarku. Aku lari pontang-panting.
Aku duduk di sini, di bawah akasia tua rimbun. Angin siang menerpa tubuh kurusku. Lembut. Pesan cinta dari Malaikat Rahmat dibisikkannya dengan berpuisi.
Insan
Tak ada kemalangan
Telah tertulis di sebuah kitab
Jalani dengan senyuman
Itu. Di sana. Di depanku. Puri Nirwana namanya kini. Tempat berkubur keluarga, sanak, handai tolanku. Nama yang indah. Rumah surga. Nama yang sesuai. Aku yakin keluargaku dan orang kampungku sedang di sana, reuni. Di taman surga.
Anjing-anjing itu tak mengejarku lagi. Mereka memandangiku dari jauh. Tinggi, tegap, bulu berjumbai-jumbai mengkilap diterpa matahari.
Anjing-anjing yang gagah.
***
Penulis :
Yudi Hendra, S.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA IT Mutiara Duri
Kompleks PT CPI (Chevron Pacifik Indonesia) Sebanga, Duri
Riau
Kode Pos : 28884
Telp. (0765) 9932292
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ceritanya bagus juga karena memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi kehidupan kalau bisa cerita lainnya segera di terbitkan
BalasHapuspak tambah lagi ceritanya
BalasHapussdikit susah memahami isi dari cerpen jika hanya d baca sekali..
BalasHapusPak, cerpennya susah dimengerti (T_T)
BalasHapusmungkin lebih bagus lagi jika dibuatkan cerbung
BalasHapusyang di update setiap minggunya. he he he he
gak ngerti do pak,,,,,,,,,,,
BalasHapuswah...
BalasHapusndak ngerti e pa...k
hehe